Bukan tahun pertama, atau sepuluh tahun lamanya, tapi satu bulan pertama.

Perkenalkan Namaku Dyah Nurfauziah, anak pertama dari dua bersaudara. Aku dibesarkan oleh seorang Ibu yang luar biasa. Ibuku selalu mengajarkan kepada anak-anaknya untuk mencari pengalaman sebanyak-banyaknya. Tak peduli walau harus menempuh jarak yang amat jauh. Ibuku meyakinkan kami anak-anaknya bahwa semua pengalaman yang kami lalui akan membentuk siapa diri kami kelak di masa depan.

Nasihat yang Ibu berikan kepadaku tertanam jauh dalam relung hatiku dan senantiasa membangunkan diri untuk terus mencari banyak pengalaman yang kelak akan membentuk diri. “Aku mau merantau, merantau yang jauh…” kataku begitu. Merantau agar dapat mencari siapa aku serta mencari banyak tinta pena untuk kutuliskan di lembar kertas hidupku. Sehingga akan menjadikan aku, seseorang di masa depan kelak.

Bulan ini merupakan bulan pertamaku tinggal menjadi warga negara asing. Untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di luar negeri menjadi seorang pelajar. Datang jauh dari Indonesia siap berpetualang di negara Iran tepatnya di Kota Qom. Mungkin, bulan pertama bukanlah apa-apa, terdengar dangkal untuk disebut sebagai sebuah pengalaman. Petualangan pada bulan ini masih berbekal barang dan bingkisan yang diberikan oleh orang-orang tersayang sebelum meninggalkan negeri.

Tapi percayalah bulan pertama bagiku sama pentingnya dengan setiap bulan yang akan aku lalui. Sebab menjadi bekal utama untuk satu tahun pertama bahkan untuk sepuluh tahun berikutnya. Bulan pertama membuatku menerka-nerka semua yang ada di depan mata. Orang-orang yang kutemui, makanan yang disuguhkan, tempat berteduh yang kucoba nikmati, dan masih banyak hal lainnya yang membuatku tak berhenti menerka.

Sesampainya aku di Teheran, sungguh atmosfer yang aku rasakan di sini amat berbeda dengan Indonesia. Rasanya tenang… sekali. Setelah duduk cukup lama di Bandara Imam Khomeini Teheran, kami dibawa ke kota Qom menggunakan Bus. Perjalanan kami memakan waktu cukup lama. Sampai-sampai kami rombongan pelajar dapat tertidur pulas di perjalanan.

Tiba di kota Qom kami langsug ditempatkan di Mehman Sara, sebuah Guide House untuk para pelajar yang baru datang. Salah satu teman serombongan kami menjelaskan, bahwa Iran sudah menjadi negara yang terbebas dari penyakit TBC dan beberapa penyakit lainnya. Sehingga para pendatang diharuskan melakukan pengecekkan kesehatan. Hal ini diharapkan dapat mengurangi resiko adanya penyakit atau virus yang dibawa pendatang atau warga negara asing.

Mehman Sara menjadi tempat tinggal sementara untuk kami para pelajar baru. Fasilitas yang kami dapatkan selama timggal di Mehman Sara sangat baik. Termasuk soal makanan, kami dijamu makanan Khas Iran tiga kali dalam sehari. Terbayang bukan, betapa sejahteranya perut kami.

Sebagai pelajar baru yang belum menguasai Bahasa Farsi akhirnya bahasa isyarat menjadi cara kami berkomunikasi. Tapi tak apa, di sini orang Iran cukup pengertian, memaklumi kondisi kami sebagai seorang pelajar yang baru datang. Justru mereka senang dan mengungkapkan kegembiraannya pada kami para pelajar dari luar sana yang datang jauh ke negara mereka untuk belajar.

Kali ini jadi pengalaman pertamaku hidup berdampingan dengan orang dari manca negara. Kami semua sama-sama pelajar asing yang datang ke Iran untuk menuntut ilmu. Aku bertemu dengan pelajar dari beberapa negara seperti Afganishtan, Myanmar, Mesir dan Afrika. Ruang tamu Mehman Sara jadi tempat kami bersenda gurau, bertukar budaya dan pandangan satu sama lain, sesekali kami juga saling melempar candaan. Pengalaman ini membuka bagian diriku yang lain, serta menyerap pandangan baru yang aku rasa akan sesuai dengan diriku. Tentunya, setiap pandangan baru aku serap dengan batas yang telah aku tentapkan.

“Fast, Fast” ucap Khanum Zahn kepada kami. “Bintul Huda, Bintul Huda” lanjutnya. Orang Iran terkenal gesit dan cepat dalam melakukan sesuatu. Tentu saja lingkungan seperti ini membuat diriku berusaha untuk lebih gesit dan cepat dalam melakukan bamyak hal. Baru satu minggu pertama, coba hitung berapa banyak hal yang membentuk diriku yang baru.

Setelah selesai masa tinggal sementara di Mehman Sara, pelajar perempuan Indonesia diantar ke tempat tinggal baru, tepatnya di Shahid Behesty Darmitary (Sebuah asrama perempuan yang berisikan para pelajar dari seluruh penjuru dunia). Wah, sudah terbayang akan ada banyak hal baru yang aku temui. Kami para pelajar baru langsung disambut hangat oleh pelajar Indonesia yang sudah terlebih dahulu datang. Disuguhinya perut kami dengan masakan Indonesia. Padahal baru beberapa hari kami jauh dari Ibu Pertiwi tapi masakan Indonesia membuat kami merasakan aroma rindu pada tanah kelahiran. Menyatap hidangan Indonesia jadi sebuah kemerdekaan untuk lidah kami yang beberapa minggu ini mulai dijajah makanan khas Timur Tengah.

Kamar nomor 13 di asrama akan menjadi tempatku tinggal selama berpetualang di Qom-Iran. Kamarku ini bukan hanya akan jadi sekadar tempat tidur dan tempat beristirahat, tapi akan jadi ruang yang hangat dan dinding sejarah. Karena diisi bersama teman-teman mancanegara. Teman satu kamarku berasal dari Pakistan, Kamboja dan Turki. Mengetahui aku pelajar baru, pagi-pagi buta mereka menyiapkan lahapan untuk santap sarapan bersama. Aku diberi tahu bagaimana cara menggunakan ini dan itu di kamar.

Keberanian membuka pembicaraan dengan orang lainpun menjadi sebuah hal yang sangat dibutuhkan. Karena terlalu sayang rasanya, jika kesempatan belajar di luar negeri tidak aku gunakan untuk mencari teman sebanyak-banyaknya. Setiap orang dari berbagi negara tentu punya pengalaman yang unik dan berbeda dengan kita.

Kehidupan asrama lagi-lagi membentuk aku. Aku harus disiplin, dalam hal apapun itu. Mendisiplinkan diri dalam mengatur waktu, serta mengatur dan mengelola barang pribadi. Aku harus bisa mengatur hidupku sendir. Bahkan setiap detail dari seluruh kehidupanku. Seperti keputusan soal “Aku harus masak apa ya hari ini?”.

Selesai mengenai asrama, kehidupanku juga berada di ruang lain yaitu Madrasah. Madrasah Bintul Huda akan jadi tempatku menimba ilmu. Mengenai pertemanan di sini, jangan ditanya. Pertemanan lintas usia dan budaya. Budaya yang berbeda, tentu kami jadikan sebagai suatu hal yang indah untuk semakin mempererat pertemanan kami. Begitupun soal usia, ada banyak pelajar lain yang usianya jauh melampaui aku. Hal ini menjadi satu motivasi khusus bagi para muda-mudi untuk semakin semangat dalam belajar.

Pelajar di sini sangat beragam dari yang masih jomblo sampai yang sudah menikah. Bahkan ada juga pelajar yang sudah menyelesaikan pendidikan doktoral dan masih terus melanjutkan pendidikanya. Ada juga seorang ibu rumah tangga yang sudah mempunyai beberapa anak dan menjadi sahabat kami di kelas. Tidak heran, saat pulang dan pergi ke madrasah kami bersamaan dengan anak-anak yang ikut bersama ibunya belajar di Madrasah Bintul Huda. Malu rasanya, jika mengeluh karena lelah belajar. Karena, semangat belajar orang-orang disini tidak mengenal usia dan peran mereka di masyarakat maupun di keluarganya.

Nampaknya, mengenai pengalamanku di Qom-Iran masih banyak yang perlu aku gali, agar satu bulan pertamaku tidak hanya hanya mendapatkan sedikit pengalaman. Sampai bertemu di satu tahun pertamaku. Semoga salam hangatku dapat menghangatkan musim gugur di Iran yang cukup dingin ini.

Penulis: Dyah Nurfauziah A.